Yang Selalu Di Hati
Pagi tadi selepas Subuh, saya dilema antara mengantar ibu ke Dokter dan kuliah. Tapi entah kenapa saya lebih memilih kuliah, karena ibu saya pun ada yang menemani, yaitu kaka saya.
Pagi tadi perasaan saya sangat sedih sekali, semunya kembali ke masa lalu. Ke masa minggu – minggu yang telah berlalu, bulan – bulan dan bahkan tahun – tahun yang telah terlewati. Saya dengan sadar, menyadari semuanya tidak akan pernah kembali. Sulit sekali untuk melupakan beliau yang telah pergi. Biasanya kalau pergi ke Dokter pasti yang berobatnya barengan, bapak dan ibu. Meskipun bapak dari dulu emang lebih sering berobat.
Pagi tadi mendadak kalimat – kalimat percakapan antara saya dan bapak kalo mau ke dokter kembali muncul. Sedih sekali mengingang tak kan ada lagi kalimat:
“Pak, enggalkeun geura gugah, siap2 ke sakedap deui aa ngjemput”
“Pak, bade eeut hela cai naon?”
“Pak, bade nganggo acuk nu mana?”
“Pak, jaketna anggo, sok tiris!”
“Pak, kartu dokterna tos di candak?”
“Pak, teu aya nu kakantun?”
Sekarang saya berharap ibu saya cepat sembuh, meskipun tidak akan sembuh 100% tapi saya berharap Allah memanjangkan usia ibu dan menghilangkan rasa sakitnya. Selalu beri nikmat sehat pada ibuku ya Allah. Jujur, kehilangan itu sangat sakit, tapi saya berusaha ikhlas, karena di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali Allah Sang Maha Pencipta.
Untuk kedua orang tuaku:
Asirin (alm)
Ede Sadiah
selalu yakin doanya tidak akan pernah behenti mengiringiku juga sebaliknya.
*maaf acak2 an, tidak berbakat menulis.
0 comments:
Post a Comment